Dari sudut pandang perpajakan di Indonesia, keluarga dianggap sebagai satu kesatuan ekonomi. Artinya, pengenaan penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga—termasuk wanita kawin, digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya—seperti Pajak Penghasilan (PPh)—dilakukan oleh kepala keluarga. Adapun PPh terutang mencakup seluruh pendapatan yang dimiliki oleh suami, istri, dan anak yang belum dewasa. Namun, menariknya pada keadaan tertentu, pengenaan PPh bisa dilakukan secara terpisah. Nah, secara rinci ada empat status perpajakan suami-istri yakni KK, PH, MT, dan HP yang melekpajak.com tuturkan kali ini.
Adapun kolom status kewajiban perpajakan suami-istri pertama kali muncul dalam format SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) berdasarkan Lampiran I PER-19/PJ/2014. Selanjutnya, pada Lampiran II PER-19/PJ/2014 dijabarkan arti dari keempat status perpajakan tersebut.
1. Kepala Keluarga (KK)
Mengetahui status kewajiban perpajakan merupakan hal penting lantaran dapat memengaruhi besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apalagi, status perpajakan seorang WPOP dapat mengalami perubahan kapan pun, misalnya karena menikah, bercerai, pelaku usaha, dan lain-lain.
Nah, jika pasangan yang telah menjadi suami-istri menghendaki untuk menggabungkan kewajiban perpajakannya, maka statusnya disebut Kepala Keluarga atau KK. Status KK adalah status suami-istri yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah.
Jadi, seorang istri melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) milik suami atau seorang kepala keluarga, sehingga kewajiban perpajakan suami dan istri ini bisa digabungkan.
Wanita kawin yang memakai status KK, maka Wajib menunjukkan NPWP suami atau kepala keluarga kepada pemotong atau pemungut PPh, serta mengajukan permohonan penghapusan NPWP. Namun, istri juga bisa mendapatkan NPWP cabang atau turunan dari NPWP suami.
Yang perlu diingat, penghasilan yang diterima atau diperoleh sang istri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21. Dus, pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
2. Pisah Harta (PH)
Anda sebagai WPOP termasuk wanita kawin yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas PTKP atau wanita kawin yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, dikenakan pajak secara terpisah alias Pisah harta atau pisah penghasilan (PH).
Status ini bisa dimanfaatkan apabila suami-istri secara hukum ingin melakukan pemisahan harta dan penghasilan, sesuai perjanjian yang disepakati bersama. Artinya, masing-masing tetap memiliki NPWP agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara terpisah.
Bila istri menghendaki status PH, maka wajib menyampaikan Surat Pernyataan Menghendaki Menjalankan Kewajiban Perpajakan secara Terpisah ke kantor pajak terdaftar. Adapun penghasilan yang diterima atau diperoleh atas penghasilan neto istri digabung dengan penghasilan neto suami, dan PPh terutang sesuai proporsi penghasilan neto.
3. Manajemen Terpisah (MT)
Status MT ini pada dasarnya sama saja dengan PH, terjadi jika suami-istri tidak bercerai tapi bersepakat melaksanakan kewajiban perpajakannya secara terpisah. Jadi, keduanya mengharuskan adanya kepemilikan NPWP yang juga terpisah.
Adapun penghitungan pajak terutang di kedua status ini juga sama, yakni dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami istri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
Namun, yang membedakan yaitu PH membutuhkan perjanjian resmi untuk menyatakan kondisi pisah harta antara suami-istri, sementara MT tidak perlu. MT hanya merujuk pada keinginan istri untuk menjalankan kewajiban perpajakan yang berbeda dengan suami, ditandai dengan NPWP yang terpisah.
4. Hidup Berpisah (HB)
Umumnya, status HB dipakai oleh suami-istri yang telah dinyatakan hidup terpisah atau bercerai secara hukum berdasarkan keputusan dari pengadilan. Dengan demikian, maka penghasilan dikenai pajak secara terpisah—termasuk dalam hal pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak ini.
Artinya, berbeda dengan status KK, suami-istri dianggap sebagai pribadi yang Tidak Kawin (TK) sehingga memiliki NPWP masing-masing dan wajib melaporkan SPT secara terpisah pula. Adapun penghitungannya menurut DJP yakni PTKP baik untuk suami atau istri menjadi status Tidak Kawin (TK) dapat ditambah dengan tanggungan jumlah tanggungan yang sebenarnya dan diperkenankan.